Jumat, 29 Oktober 2010

Diskriminasi Sosial Pemuda indonesia

Perlu kiranya dicatat di sini, bahwa dalam arti tertentu diskriminasi mengandung arti perlakuan tidak seimbang terhadap sekelompok orang, yang pada hakekatnya adalah sama dengan kelompok pelaku diskriminasi. Obyek diskriminasi tersebut sebenarnya memiliki beberapa kapasitas dan jasa yang sama, adalah bersifat universal. Apakah diskriminasi dianggap illegal, tergantung dari nilai-nilai yang dianut masyarakat bersangkutan, atau kepangkatan dalam masyarakat dan pelapisan masyarakat yang berlandaskan pada prinsip diskriminasi. Demikianlah para tamtama/prajurit [private] di dalam jajaran ketentaraan secara sah [legitimated] didiskriminasikan [diperlakukan tak seimbang], berdasarkan kedudukannya yang masih rendah, walaupun ia telah memiliki kemampuan yang sama, atau bahkan melebihi para perwira atasan mereka.

Namun beberapa komunitas khayalan [utopian communities] telah mencoba untuk menghapuskan perbedaan-perbedaan semacam itu, dalam kedudukan kepangkatan, seringkali berdasarkan keyakinan bahwa semua orang beragama adalah sama di mata Tuhan; dan di Amerika Serikat penyebaran nilai-nilai politik dan agama telah membawa perubahan-perubahan dalam struktur masyarakat, telah menyebabkan terjadinya perlawanan terhadap segala macam diskriminasi yang bersifat agama, ras, bahkan kelas-kelas masyarakat. Kriteria masyarakat, untuk apa yang dianggap perlakuan diskriminasi terhadap seorang maupun kelompok, selalu bergeser, sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakatnya.

Menurut Theodorson & Theodorson ( 1979: 258-259), kelompok minoritas [minority groups] adalah kelompok-kelompok yang diakui berdasarkan perbedaan ras, agama, atau sukubangsa, yang mengalami kerugian sebagai akibat prasangka [prejudice] atau diskriminasi istilah ini pada umumnya dipergunakan bukanlah sebuah istilah teknis, dan malahan, ia sering dipergunakan untuk menunjukan pada kategori perorangan, dari pada kelompok-kelompok. Dan seringkali juga kepada kelompak mayoritas daripada kelompok minoritas. Sebagai contoh, meskipun kaum wanita bukan tergolong suatu kelompok (lebih tepat kategori masyarakat), atau pun suatu minoritas, yang oleh beberapa penulis sering digolongkan sebagai kelompok minoritas, karena biasanya dalam masyarakat, yang berorientasi pada pria/male chauvinism, sejak jaman Nabi Adam telah didiskriminasikan sebaliknya, sekelompok orang, yang termasuk telah memperoleh hak-hak istimewa [privileged] atau tidak didiskriminasikan, tetapi tergolong minoritas secara kuantitatif, tidak dapat digolongkan ke dalam kelompok minoritas. Oleh karenannya istilah minoritas tidak termasuk semua kelompok, yang berjumlah kecil, namun dominan dalam politik.

Akibatnya istilah kelompok minoritas hanya ditujukankepada mereka, yang oleh sebagian besar penduduk masyarakat dapat di jadikan obyek prasangka atau diskriminasi. Akhimya perlu juga dijelaskan tentang hubungan antara kelompok [lntergroup relation]. Menurut Theodorson & Theodorson ( 1979: 212) pada dasarnya istilah ini berarti penelitian mengenai hubungan antar kelompok, seperti pada kelompok minoritas dan kelompok mayoritas. Selain itu juga konsisten, atau konflik di antara suku-suku bangsa, atau kelompok-kelompok ras, sehinga dapat dianggap sebagai masalah social [social problem].

Di dalam makalah ini saya akan memfokuskan diri pada diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas yang ada di Republik Indonesia. Kelompok minoritas tersebut dapat berupa suku bangsa (etnis), kelompok agama, dan kelompok gender [gender] seperti kaum perempuan dan kaum homo seksual (baik gay maupun lesbian). Pemfokusan ini berdasarkan kenyataan bahwa walaupun negara kita sudah merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945, serta telah mempunyai UUD 45 yang pada Bab X tentang “Warga Negara” pasal 27 ayat 1, yang menganggap semua WNI memiliki persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualian, dan ayat 2 mengatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Namun sedihnya dalam riwayat hidupnya bangsa kita, telah diselewengkan oleh para pemimpin-pemimpin di kemudian hari, yang sudah mulai berlaku sejak jaman ORLA, dan terutama mencapai puncaknya pada jaman ORBA.

Sebagai contoh misalnya orang Tionghoa di Indonesia bersama-sama dengan orang Arab, India, pada masa Kolonial Belanda digolongkan sebagai golongan Timur Asing, kemudian pada-masa Kemerdekaan mereka semuanya apabila mau mengakui Indonesia sebagai tanah airnya, dan serta pada negara R.I. dapat dianggap sebagai Warga Negara Indonesia. (lihat UUD 45, Bab X, pasal 26, ayat 1). Namun perlakuannya terhadap mereka ada perbedaan. Bagi keturunan Arab, karena agamanya sama dengan yang dipeluk suku bangsa mayoritas Indonesia, maka mereka dianggap "Pri" [Pribumi] atau bahkan “Asli”, sedangkan keturunan Tionghoa, karena agamanya pada umumnya adalah Tri Dharma (Sam Kao), Budis, Nasrani dan lain-lain. Keturunan India yang beragama Hindu dan Belanda yang beragama Nasrani, dianggap “Non Pri”. Dengan stikma "Non Pri" tersebut kedudukan mereka yang bukan “pribumi”, terutama keturunan Tionghoa terasa sekali pendiskriminasiannya. Bahkan oleh pemerintah ORBA, telah dikeluarkan beberapa Peraturan Presiden yang menggencet mereka, bahkan dengan
politik pembauran yang bersifat asimilasi. Sehingga sebagai etnis mereka tidak boleh
eksis.

0 komentar:

Posting Komentar

Penerjemah